Share your thoughts and Uncover the G world in a positive and diferent way! Happy reading...! ^_^

[ Some of the contents of this blog are for my personal writings, and some others are copyright of their original author. All of the pictures in this blog are copyright of their original author and for personal use only! ]

May 2, 2007

Permasalahan Disfungsi Seksual Pada Pria



Artikel ini aku temukan pada forum Undercover-id. Semoga artikel ini dapat memberikan edukasi yang berguna mengenai permasalahan disfungsi seksual pada pria



K.M. ARSYAD

Subbagian Andrologi, Bagian Biologi Kedokteran Universitas Sriwijaya

*Disampaikan pada Simposium Peranan Seksual dalam Membina Keharmonisan

Keluarga, Palembang, 19 Juni 1999



Pendahuluan



Yang mengenal seks, tidak mengenal cinta,

Yang menyelami cinta, belum menemukan kasih, dan

Yang telah menemukan kasih,

Tidak berurusan dengan seks dan cinta



Apakah sebenarnya seks itu?

Kebutuhan biologis belaka?

Hanya pelampiasan nafsu birahi?

Atau anugerah Allah, tentang mana pengetahuan kita masih sangat-sangat
minim?

(Krishna, 1998)



Siklus Respons Seksual pada Pria



Meskipun siklus respons seksual pada laki-laki dan perempuan tidak
dapat dibedakan secara jelas karena terdapat perbedaan antara satu
orang dengan lainnya, berdasarkan perubahan anatomi dan faali pada
saat terjadinya hubungan seks, siklus respons seksual pada pria dan
wanita dapat dibagi menjadi 4 fase. Fase tersebut adalah fase
perangsangan, fase plateau, fase orgasmik, dan fase resolusi (Kolodny,
Master, Johnson, 1979).



1. Fase Perangsangan (Excitement phase)


Perangsangan terjadi sebagai hasil dari pacuan yang dapat
berbentuk fisik atau psikis. Pacuan yang berasal dari situasi tanpa
hubungan fisik langsung, yang bukan biasanya dan diinginkan, karena
aktivitas proses faali tubuh terjadi sebagai akibat pikiran atau
emosi. Contoh, keluarnya liur dan asam lambung dapat disebabkan oleh
pikiran akan makanan, berkeringat, dan takikardia; palpitasi dapat
disebabkan oleb rasa takut atau adanya bahaya. Kadang-kadang, fase
perangsangan ini berlangsung singkat dan segara masuk ke fase plateau.
Pada saat yang lain dapat terjadi secara lambat dan berlangsung secara
bertahap serta memerlukan waktu yang lebih lama. Pada pria, fase ini
berupa ereksi penis. Ereksi adalah proses perubahan penis yang lemas
menjadi organ yang kaku.



Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ereksi ialah sistem
syaraf pusat, otonom, dan somatik; sistem pembuluh darah vena dan
arteri organ seks; kontraksi otot-otot sekitar organ seks; serta poros
hipothalamus-hipofise-testis. Pemacu ereksi dapat berasal dari
rangsangan erotik dan non-erotik. Rangsangan erotik dapat berasal dari
dari rangsangan fisik yang mengenai glans penis.



Rangsangan erotik psikogenik dapat berasal dari pandangan,
suara, bau, lamunan, pikiran, dan mimpi. Pemacu non-erotik biasanya
karena adanya rangsangan pada alat kelamin bagian dalam, vesika
seminalis, prostat, epididimis, atau kandung kemih yang penuh, serta
konstipasi usus besar bagian bawah. Rangsangan ini akan diteruskan ke
jalur refleks ereksi. Refleks ereksi membutuhkan reseptor mekanik,
serat motorik dan sensorik, baik otonom maupun somatik yang utuh.
Kerusakan atau gangguan pada jalur refleks ereksi tersebut akan
mengganggu mekanisme ereksi (Soehadi, 1989).



2. Fase Plateau


Pada fase ini, bangkitan seksual mencapai denyut tertinggi,
yaitu sebelum mencapai ambang batas yang diperlukan untuk terjadinya
orgasme. Pada fase ini, terjadi pembesaran pada bagian proksimal glans
penis. Dapat juga disertai pengeluaran cairan dari kelenjar
bulbourethralis, yang kadang-kadang mengandung spermatozoa yang hidup.



3. Fase Orgasme (Orgasmic Phase)


Orgasme adalah perasaan kepuasan seks yang bersifat fisik dan
psikologik dalam aktivitas seks sebagai akibat pelepasan memuncaknya
ketegangan seksual (sexual tension) setelah terjadi fase rangsangan
yang memuncak pada fase plateau. Pada laki-laki, pelepasan ketegangan
seks yang optimal ini disertai --meskipun tidak selalu-- dengan proses
ejakulasi, yaitu terpancarnya air mani akibat kontraksi urethra dengan
penis bergabung dengan kontraksi kelenjar prostat.



Menurut Rivard (1982), kepuasan seks tersebut berhubungan dengan
volume ejakulat, pusat orgasme, dan intensitas serta lamanya fase
rangsangan.



4. Fase Resolusi (Resolution phase)


Segera setelah mencapai orgasme dan ejakulasi, laki-laki
memasuki periode yang menetap. Pada periode ini, ejakulasi tidak
mungkin terjadi walaupun kadang-kadang dapat terjadi ereksi. Pada fase
ini, perubahan anatomik dan faali alat kelamin serta luar alat kelamin
yang telah terjadi, akan kembali ke keadaan asal.



Disfungsi Seksual pada Pria



Kolodny, Master, dan Johnson (1979), membagi disfungsi seksual pada
pria atas 2 kategori, yaitu kelemahan ereksi (disorders of erection)
dan gangguan ejakulasi (disturbances of ejaculation).



1. Kelemahan ereksi (disorders of erection)


Yang termasuk dalam kelemahan ereksi adalah impoten. Impoten
adalah ketidakmampuan untuk mendapatkan atau mempertahankan suatu
ereksi yang cukup keras untuk melakukan senggama, untuk memulai, dan
menyelesaikannya. Impoten dapat diklasifikasikan sebagai impoten
primer atau sekunder. Pria dengan impotensi primer tidak pernah mampu
melakukan senggama, sedangkan pria dengan impotensi sekunder mengalami
disfungsi ereksi setelah sebelumnya mempunyai fungsi seksual yang
normal. Ada 2 macam impoten, yaitu organik dan psikogenik. Kurang
lebih 10--15% dari laki-laki penderita impotensi, tampaknya mempunyai
penyebab utama organik. Penyebab organik yang sering dijumpai adalah
kelainan anatomik, kelainan kardiovaskuler, akibat obat-obatan,
endokrin, saluran kemih dan alat kelamin, hematologik, penyakit
infeksi, neurologik, vaskuler, dll. Gangguan fungsi ereksi yang
terjadi sebagai akibat dari penyebab fisik atau metabolik, dapat
diikuti oleh perubahan psikologik dan perilaku yang berkembang menurut
waktu sebagai reaksi terhadap kelainan tersebut. Misalnya, perubahan
tersebut dapat mempengaruhi fungsi seksual. Karena itu, walaupun
penyebab primer organik dapat diketahui dan berhasil diobati,
kesulitan seksual mungkin masih menetap sebagai akibat gangguan
psikogenik tersebut. Hal serupa terjadi, walaupun 85--90% pasien
impotensi muncul dengan penyebab primer psikogenik untuk disfungsi
seksualnya, faktor fisik dan metabolik dapat berperan sebagai penyulit.



2. Gangguan ejakulasi (disturbances of ejaculation)


Yang termasuk dalam gangguan ejakulasi adalah ejakulasi dini
(prematur ejaculation). Walaupun ejakulasi dini merupakan disfungsi
seksual yang sering dikeluhkan, tidak ada definisi yang memuaskan
secara klinis. Sebagian disebabkan oleh waktu relatif alamiah untuk
ejakulasi dalam hubungannya dengan siklus respons seksual perempuan.
Jika ejakulasi laki-laki yang cepat membatasi siklus respons seksual
istrinya untuk mencapai gairah seks yang tinggi atau orgasme, maka
situasi tersebut dapat dianggap sebagai ejakulasi dini. Walaupun
demikian, pada sejumlah pasangan ejakulasi dini ini tidak menghalangi
istri melakukan senggama. Faktor subjektif yang mempengaruhi penilaian
lama waktu seorang laki-laki untuk senggama tanpa ejakulasi adalah
faktor sosial-budaya dan kepribadian. Kinsey, Pomeroy, dan Martin
melaporkan 75% dari laki-laki yang diteliti, ejakulasi terjadi dalam
waktu 2 menit setelah masuk liang senggama (vagina). Beberapa kasus
ejakulasi dini yang jelas agak mudah didiagnosa karena ejakulasi
terjadi sebelum, sedang, atau segera setelah penis masuk ke dalam vagina.



Karena ejakulasi adalah refleks yang diatur oleh alur neurologik
dan mungkin alur endokrin, tidak didapat data yang cukup tentang
penyebab dari ejakulasi dini. Pengalaman pertama dengan ejakulasi yang
cepat mungkin dapat mempengaruhi kemampuan pria menahan ejakulasinya.
Penyakit atau peradangan pada prostat atau saluran kemih-kelamin
(Kolodny, Master, Johnson, 1979).



Abdelmassih (1992) berpendapat bahwa istilah impoten
didefinisikan untuk kasus di mana ereksi tidak pernah terjadi,
sedangkan disfungsi seksual menunjukkan perubahan seksual. Perubahan
tersebut, baik sendiri atau campuran, dapat terjadi pada libido,
ereksi, ejakulasi, dan orgasms. Sebanyak 20--30% disfungsi seksual
pada laki-laki merupakan disfungsi psikogenik. Karena itu, disfungsi
seksual dapat dibagi berdasarkan siklus respons seksual, yaitu:



1. Disfungsi libidinis


Disebut juga impotensia konkupisiensi, yakni berkurangnya
atau lemahnya gairah seksual dan perangsangan seksual.



2. Disfungsi ereksionis


Yakni ketidakmampuan untuk mendapatkan atau mempertahankan
ereksi yang cukup untuk melakukan hubungan seksual yang "normal". Saat
ini disebut sebagai disfungsi ereksi (erectile dysfinction).



3. Disfungsi ejakulasionis


Adalah gangguan dalam ejakulasi. Berbagai impotensia
ejakulasionis adalah sebagai berikut: (a) Ejakulasi dini (prekoks); b.
Ejakulasi tertahan (retarda); c. Ejakulasi tak sempurna (incoinplete);
d. Tidak ejakulasi (unejakulasi); dan e. Ejakulasi terbalik (retrograde).



4. Disfungsi satisfactionis/emosionis


Yakni ketidakmampuan pria merasakan kepuasan (orgasme)
setelah hubungan seks (Susilo, 1994; Adimoelja, 1976; Barry & Hodges,
1987).



Pengobatan Disfungsi Seksual pada Pria



Pengobatan untuk disfungsi seksual pada laki-laki adalah sebagai
berikut (Susilo, 1994):



  1. Konseling seks/terapi seks

  2. Pengobatan mekanik

  3. Obat-obatan

  4. Operasi



1. Konseling seks terapi seks


Konseling seks dilakukan bersamaan dengan terapi seks. Yang
termasuk terapi seks adalah hipnosis, senam seks, specific sexual de
sensitization, sexual stimulation therapy, masturbation therapy.



2. Pengobatan mekanik


Pada pengobatan ini, dipakai alat yang prinsipnya bekerja untuk
mengisap darah masuk ke penis sehingga penis bisa ereksi. Ada 2 macam
alat, yaitu Osborn Erec Aid dan Synergist Erection.



3. Obat-obatan


Obat-obatan yang diberikan dapat berupa substitusi, supresi,
stimulasi, dan vasodilator.



Terapi subtitusi


Adalah pemberian obat-obatan untuk menggantikan atau menambah
karena produksinya oleh tubuh kurang (Rochira, dkk, 1996).
Misalnya, L-Thyronine untuk penderita Hypothyroidism, atau
Androgen untuk penderita defisiensi androgen.



Terapi suppresi


Diberikan obat-obatan yang dapat menekan penyebab disfungsi
seks. Misalnya, Bromocriptine untuk Hyperprolactinemia atau
Carbamizole untuk Hyperthyroidism (Carani, dkk, 1996).



Terapi Stimulasi


Adalah untuk menstimulasi respons seksual. Obat yang dipakai
adalah hormon, aphrodisiaka, dan stimulan SSP.



Vasodilator


Vasodilator yang dipakai dapat topikal (olesan), oral,
intraurethral, dan intra cavernosa.



4. Operasi


Cara ini dilakukan dengan memasang suatu alat prosthesis di
dalam penis agar penis bisa tegang. Ada 2 macam alat, yaitu semirigid
dan ada yang dapat dikembangkempiskan. Karena hubungan seks suami dan
istri harus saling memuaskan, padahal masalah disfungsi seksual ini
tidak hanya terjadi pada pria tetapi juga pada wanita, maka perlu
dikenal berbagai disfungsi seksual pada wanita dan kesepadanannya pada
pria sebagaimana tercantum pada tabel 2 berikut ini (Kok Lee Peng, 1999):



Mengenai pengobatan terhadap disfungsi seksual, tunggu artikel berikutnya!


sumber: majalah tempo




Back to top

No comments: